DEWASA ini sudah sangat perlu penerapan hukum adat untuk
mengcegah dan menangkal pelanggaran kriminal dan pelanggaran etika dan
moral kita berbangsa dan bernegara. Perlu kita dukung penerapan
penggalian kembali hukum-hukum adat masing-masing daerah, karena itu
sudah ada di nusantara sebelum masuknya agama-agama dari luar dan
budaya-budaya luar serta hukum kolonial ada aturan bangsa di kepulauan
nusantara ini sebagai landasan masyarakat Adat Nusantara.
Hal itu perlu kita gali kembali dan diajarkan karena dalam Hukum
Adat banyak mengandung pesan petuah yang mengarah pada pendidikan
etika, moral dan perdamaian/musyawarah, menghargai hak orang lain, adat
orang lain. Misalnya mau merantau selalu ada pesan adat dari orang
tua, hati-hati di rantau orang, dimana bumi dipijak di situ langit
dijunjung. Makna pesan lama itu sekarang pudar dan luntur dan sudah
diartikan di mana bumi dipijak di situ tanah dikavling.
Ketuhanan Yang Maha Esa pun diplesetkan menjadi keuangan yang maha
kuasa. Jadi benar-benar kita krisis moral berbangsa dan bernegara,
istilah Jawa mikul dhuwur mendem jero, juga sudah tidak berlaku. Para
elit dan pemimpin bangsa saling debat, saling tuding dan saling maki dan
sudah mengarah saling balas dendam dan menggunakan hukum kekuasaan
negara mengkriminalisasi. Sungguh mengerikan padahal kita tumbuh dari
bangsa yang beradat dan berbudi luhur.
Berbudi yang luhur adalah ciri kita bangsa Indonesia yang dikenal
oleh bangsa-bangsa lain oleh karenanya dasar negara kita Pancasila
menyatukan nusantara yang adat istiadatnya banyak kesamaannya.
Berbeda-beda kita satu Bhinneka Tunggal Ika. Budi luhur itulah kita
mencegah dan anti pada tidakan-tindakan yang tidak berperikemanusiaan.
Saya teringat di kampung adat saya di Kalimantan Tengah, masyarakat
adat Lawangan kalau kita nakal sampai dimarahi kakek, nenek atau
tua-tua kampung. Akibat kenakalan kami sambil dimarahi, dikatakan tidak
tahu adat. Berhari-hari dan berminggu minggu jadi polemik sebelum kita
minta ampun dan minta maaf dan di rumah pun, orang tua terbeban dan kami
biasanya disuruh minta maaf baru tenang. Itu contoh-contoh pelanggaran
kecil dan anak dari situlah kami tumbuh di dalam masyarakataAdat
Dewasa pun, banyak hukum adat yang mencegah perbuatan jahat, adà
kebiasaan adat, apabila tamu alias bukan orang serumah atau bukan
muhrimnya atau tetangga mau ke salah satu rumah, harus memanggil
bertanya dari luar ada siapa di rumah ada berapa orang di dalam rumah.
Ini berlaku bagi tamu berlawanan jenis apabila hanya ada seorang
laki-laki atau seorang perempuan otomatis adat tidak memperkenankan.
Apabila dilanggar bisa dihukum adat, ada 2 orang berlawanan jenis
dalam rumah bisa ditangkap tangan atau dibawa barang bukti 2 orang
tersebut sandal atau apa saja dilaporkan ke kepala adat akan dikawinkan.
“Batamput” kawin paksa, kalau pelaku sudah bersuami atau
beristeri, ditambah hukum denda adat berupa gong guci dan lain-lain,
dasar keputusan sidang adat. Bahkan sampai ke pelanggaran-pelanggaran
adat berat.
Hukumnya denda adat dan diusir keluar dari kampung oleh karenanya
kami masyarakat adat taat hukum, karena di masyarakat adat berlaku Hukum
Adat, di masa modern ini oleh karenanya apa kata kepala negara sudah
krisis moral etika berbangsa bernegara sangat perlu dan mendesak
pelajaran Budi Pekerti digali kembali dan Hukum Adat digali dan
dihidupkan kembali dalam Perda.
Saya mendukung penuh kepala-kepala adat Purwakarta Jawa Tengah yang
akan menghidupkan Perda Hukum Adat Kawin Paksa bagi pasangan yang
berpasangan dalam satu rumah dalam satu ruangan di atas pukul 21.00.,
baiknya di siang hari juga apabila dalam satu ruangan berduaan bukan
muhrimnya bukan anggota dalam rumah yang tertera pada KK.
Apabila Hukum Adat diterapkan akan mencegah dan mengurangi beban
pemerintah, karena Hukum Adat yang akan diperdakan di Purwakarta sama
dengan Hukum Adat di kampung adat saya. Dan kalau adat hukum adat
diangkat semua ada aturan pemeliharaan alam pelihara sungai dan
pemeliharaan hutan dan menghormati orang tua, dan bagaimana bertetangga
dan bagaimana berderma saling tolong menolong, bergotong royong.
Bagaimana takut dan taat adat dan ada sanksi mistis, perlu
dipikirkan untuk muncul budaya adat dan budaya malu. Jangan budaya
malu-maluin serakah dan takut miskin itulah koruptor takut miskin juga
bisa dikategorikan orang tidak percaya Tuhan dan tidak beradat, makanya
aji mumpung ada jabatan dan kesempatan korupsi uang negara. Begitu
ketangkap nyogok Hakim, Jaksa, Pengacara untuk lolos dari jeratan hukum,
hancurlah tatanan dan kewibawaan hukum di negeri ini karena kekuasaan
uang. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar