SEMANGAT untuk melaksanakan ajaran Pancasila sesungguhnya sangat dibutuhkan di tengah tergerusnya nilai-nilai kebersamaan dan toleransi dalam spektrum kebhinekaan di era globalisasi saat ini. Ada secercah kegembiraan tatkala digelar sebuah kegiatan Orasi Kebudayaan bertema “Memaknai Pancasila”yang dibawakan dengan sangat memukau oleh Kyai Zawawi Imron yang bertutur tentang bagaimana menghidupkan spirit Pancasila, cinta dan penghormatan terhadap keragaman budaya Nusantara yang semestinya dikenal, dipelajari dan diaplikasikan dalam perilaku keseharian kita.
Kyai Zawawi Imron adalah seorang budayawan dari Sumenep, Madura yang pernah menerima penghargaan "The S.E.A Write Award"
di Bangkok,
Thailand. Penghargaan yang beliau terima ini diberikan keluarga kerajaan
Thailand khusus untuk para penulis dan penyair di kawasan ASEAN.
Orasi yang digelar di The Wahid Institute, Jakarta 2 Oktober 2015 ini dibuka dengan penuturan Kyai Zawawi Imron tentang makna kandungan naskah sastera I La Galigo sebagai sebuah epik mitologi dari Sulawesi Selatan, naskah terpanjang di dunia yang kini dikenal sebagai Memory of The World yang telah disahkan serta diakui oleh UNESCO.
Zawawi Imron |
Orasi selanjutnya beliau bertutur
tentang filosofi Jawa “Memayu Hayuning Bawono” yang bermakna mengupayakan
keselamatan hidup di dunia, mempercantik ibu pertiwi. Dalam hal ini konsep
kearifan lokal dalam mencintai lingkungan hidup menjadi spiritualitas budaya
yang condong pada penghayatan batin dan perilaku hidup keseharian. Ada pula
petuah beliau yang berpesan untuk senantiasa mengolah rasa yang termaktub dalam
filosofi Jawa “Ojo rumongso iso, ning sing iso rumongso”, yang mengingatkan
manusia untuk selalu sadar diri bahwa di atas langit masih ada langit. Orang
yang terlalu tinggi memanjat tanpa berpegangan akan jatuh dan merasa sakit jika
terjatuh.
Kyai Zawawi Imron menuturkan pula filosofi masyarakat Minahasa “Si Tou Timou Tumou Tou” suatu ungkapan kalimat yang bermakna konsep manusia hidup untuk menghidupkan manusia. Dalam hal ini diutamakan interaksi sosial yang baik dalam hidup bermasyarakat, saling bekerja sama dan toleransi.
Kyai Zawawi Imron menuturkan pula filosofi masyarakat Minahasa “Si Tou Timou Tumou Tou” suatu ungkapan kalimat yang bermakna konsep manusia hidup untuk menghidupkan manusia. Dalam hal ini diutamakan interaksi sosial yang baik dalam hidup bermasyarakat, saling bekerja sama dan toleransi.
Selanjutnya orasi
kebudayaan ditutup dengan pembacaan resolusi jihad KH. Hasyim Asy’ari 10
November 1945 yang relevan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan
Indonesia dan beberapa puisi bernuansa sastera. Berikut ini adalah sepenggal
puisi karya Kyai Zawawi Imron berjudul “Indonesia Tanah Sajadah” yang menyentuh
batin kita sebagai anak bangsa Indonesia:
“Kita minum
air Indonesia menjadi darah kita
Kita makan
buah-buahan dan beras Indonesia menjadi daging kita
Kita
menghirup udara Indonesia menjadi napas kita
Satu saat
nanti kalau kita mati
Kita akan
tidur pulas dalam pelukan bumi Indonesia
Daging kita
yang hancur
Akan menyatu
dengan harumnya bumi Indonesia
Tanah air
yang indah
Harus diurus
dengan hati yang indah
Hati yang
taqarrub kepada Allah
Kalau
Indonesia ingin tetap indah
Harus diurus
dengan akhlak yang indah
Tanah air
adalah ibunda kita
Siapa
mencintainya
Agar Indah
yang indah semakin damai dan indah
Tanah air
adalah sajadah
Siapa mencintainya
Jangan
mencipratinya dengan darah
Jangan
mengisinya dengan fitnah, maksiat, dan permusuhan”
Sudah selayaknya kita sebagai
generasi muda tergerak untuk menghidupkan kembali spirit epik dalam naskah
sastera I La Galigo dan aneka ragam makna filosofi yang mengandung kearifan
lokal secara populer terutama di kalangan pelajar muda, seperti mempopulerkan
dalam bentuk komik yang menarik. Beliaupun mengapresiasi komik dari Taman Komik Nusantara bertema
Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia yang sudah final dan seyogyanya kita
aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar