oleh Priyo Suwarno
TUGAS pengamanan
itu jaraknya cuma satu senti dengan maut! Semua faham dan mengerti itu.
Bayangkan saja, polisi diback-up aparat TNI melakukan pengamanan aksi jutaan
manusia yang tumpah ruah secara bergelombang di Ibukota, Jakarta. Setidaknya
ada lima kali yaitu aksi massa I, II, III dan IV, kemudian berlanjut V.
Semuanya aman terkendali.
Memang agak
berlebihan jika disebut tidak ada setetes darah pun yang mengucur, akan tetapi
kinerja polisi dibantu aparat TNI benar-benar menunjukkan sebuah kualitas
sangat maju dan bermutu dalam mengendalikan massa yang luar biasa itu.
Bangsa Indonesia
selayaknya patut mengucapkan puji syukur kepada Tuhan YME, atas kinerja aparat
keamanan khususnya dalam pengamanan aksi itu. Dimana jutaan manusia penuh
dengan potensi emosi dan amarah meletup-letup, ternyata berhasil dikendalikan
dan dijinakkan secara baik dan teratur.
Ini penting, mengapa?
Karena jika saja terjadi setetes darah mengucur apalagi ada korban jiwa, maka
bisa dipastikan polisi bakal menjadi bulan-bulannya dan tersudut. Padahal dalam
penegakkan hukum, polisi tidak boleh menyerah kalah terhadap tuntutan massa. Bisa
saja kondisi itu kemudian berubah menjadi cheos
(kerusuhan) aksi-aksi yang perusakan dan membahayakan keamanan Negara.
Sejauh ini, kondisi keamanan Indonesia meski diguncang oleh aksi massa luar
biasa, masih aman terkendali.
Pengamanan publik,
bukan cuma urusan demo-demoan saja, tetapi menjaga ketertiban umum dalam
kehidupan sehari-hari. Setiap detik, setiap jam dan setiap hari tiada henti
semuanya membutuhkan campur tangan polisi.
Diminta atau tidak, Polisi wajib turun tangan jika
terjadi peristiwa yang menyangkut ketertiban umum. Sikap ini pula yang
mendorong Aiptu Sunaryanto, anggota Polantas Jakarta, bergerak melakukan
pengamanan, ketika terjadi peristiwa penodongan dan penyenderaan di dalam
sebuah angkot, 10 April 2017 lalu.
Menggunakan segala kepiawaiannya sebagai seorang
pengaman, Suanryanto setelah mengucapkan: Bismillah, meletupkan senjata apinya
tepat mengenai tangan kanan pelaku penyenderaan diketahui bernama Hermawan
(28). Pisau pelaku terpental, Sunaryanto pun berhasil menyelamatkan nyawa seorang
bocah bernama Dafa (2) dan ibunya Risma yang
tercanam kena gorok. Luar biasa! Sungguh
tindakan happy ending yang
membanggakan bagi setiap polisi dan lembaganya.
Sama-sama
meletuskan senjata, peristiwa ini berbanding terbalik dengan kasus penembakan
yang terjadi Lubuklinggau, Sumatra Selatan, pada hari Selasa (18/7/2017). Satu
keluarga yang berada di dalam mobil Honda City nyaris meninggal akibat luka tembak oleh
seorang petugas kepolisian. Lantaran pengemudi mobil itu nekat menerobos razia
petugas Mapolres Lubuklinggau.
Mereka satu keluarga
dari Desa Belitar, Kecamatan Sindang Kelingi, Kabupaten Rejang Lebong,
Bengkulu. Satu wanita tewas di lokasi kejadian, beberapa keluarga lainnya
menderita luka-luka tembak. Gatot Sundari adalah korban yang mengalami luka
tembakan pada punggungnya. Sedangkan anggota keluarga lainnya ada yang terkena
luka tembak di bagian tangan, lengan, dan juga telinga. Korban meninggal
bernama Surini yang tewas di tempat karna mengalami luka tembak di bagian paha kiri
dan perut di sebalah kiri serta tiga luka tembak di bawah payudara sebelah
kanan.
Sopir mobil
itu memang menunjukkan sikap melawan, polisi menandai bahwa kendaraan ini masuk
daftar mencurigakan. Mobil ini tersebut sudah diganti plat nomor menjadi BG 1488
ON, yang susungguhnya adalah kendaran dari Jakarta.
Aat itu
petugas Mapoles Lubuklinggau melakukan razia rutin, kendaraan itu ketika
dihentikan malah menerobos perugas, sehingga terjadi kejar-kejaran. Lalu
diberikan tembakan peringatan, mobil terus dipacu, sehingga dilakukan tembakan
kea rah mobil beberapa kali. Seorang penumpang wanita tewas seketika, enam
orang di dalam kendaran pun mengalami luka-luka tembak. Tanggal 25 April,
Indrayani sopir kendaraan itu meninggal dunia di rumah sakit.
Sedangkan Brigadir
K yang saat ini ditahan untuk mempertanggungjawabkan tindakan. Ini menjadi duka
bagi petugas dan institusinya. Meskipun sesungguhnya dia melakukan tindakan itu
setelah secara nyata pelaku melarikan diri. Karena menerobos dan melarikan diri
saat dirazia, maka sekeluarga menderita termasuk petugas pun berubah menjadi
tersangka.
Kejadian-kejadian
ini menjadi makanan sehari-hari bagi pertugas kepolisian, apalagi di daeah atau
wilayah dengan tingkat kriminalitas tinggi, seperti Lubuklinggau. Dimana lokasi
itu tindak kejatahan kriminalitas pencurian motor, mobil, begal dan curas
sangat tinggi.
Kondisi ini
mendapat sorotan Jenderal (Pol) Tito Karnavian, rang nomor satu yang paling
bertanggung jawab di tubuh Kepolisian Republik Indonesia. Kepada Aiptu
Sunaryanto, Kapolri member reward berupa dua tiket, yaitu tiket untuk alih
golongan dengan cara bersekolah, serta sebuah pin emas.
Persoalannya
bukan hanya reward dan punishment (penghargaan dan hukuman) saja,
tetapi lebih kompleks dari itu. Bagaimana polisi sebagai penegak hukum dan
penjaga ketertiban umum sebagai pelindung masyarakat juga mendapatkan
perlindungan yang lebih layak.
Kapolri menyatakan bahwa Sunaryanto menggunakan kewenangan diskresi sebagai
anggota Polri untuk menembak si penyandera. Ternyata berhasil dan sukses,
sebaliknya Brigadir K sebaliknya, membawa korban jiwa.
Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian mengatakan, setiap
polisi di dunia punya kewenangan diskresi untuk mengambil upaya paksa atas
keadaan genting. Namun, diskresi jangan sampai diterapkan berlebihan hingga
jadi kebablasan. Tito mencontohkan penembakan mobil satu keluarga di Sumatera
Selatan oleh polisi. Mobil tersebut diduga berisi pelaku kejahatan karena tidak
bersedia berhenti saat dihentikan dalam razia. Akibatnya, polisi
memberondong tembakan ke arah mobil tersebut. Padahal, mereka yang ada di mobil
itu hanya warga biasa.
Kewenangan tersebut harus diimbangi dengan kemampuan menganalisis keadaan, serta pembenahan terkait kewenangan yang melekat tersebut. "Ini yang perlu dievaluasi di lingkungan Polri, agar lebih banyak anggota polri di-drill (dilatih) di tingkat pendidikan dan kemudian di-drill lapangan saat sedang bertugas, coaching clinic," kata Tito.
Berkaca dari itu, secara riil pada saat terjadi sebuah peristiwa/ kejadian, polisi wajib menyelamatkan diri sendiri dan siapapun yang patut dilindungi. Menjadi tidak elok, jika polisi dilumpuhkan oleh penjahat lebih parah lagi bila mati terbunuh oleh pelaku kriminal, ketika hendak melindungi korban.
Oleh karena itu, seorang petugas /aparat keamanan baik itu polisi maupun TNI sudah mempunyai standar tertentu mempunyai banyak kelebihan. Mereka harus unggul fisik, intelektual dan kesehatan. Calon Polisi dan TNI harus lolos semua tes fisik, tes intelegensia dan kemampuan otaknya harus cerdas, plus sehat secara rohani dan jasmani. Ini semua sudah terstandar dalam rekrutmen calon polisi/ TNI.
Selanjutnya mereka digembleng secara rutin di tiga faktor keunggulannya itu, sehingga ketika mengambil keputusan dalam bertugas berhasil menyelamatkan diri sendiri atau pun korban dan pelakunya. Ini bukan pekerjaan mudah. Jauh lebih mudah bagi siapapun untuk mencela, mengkritik, menteror bahkan memfitnah dari pada melaksanakannya di lapangan.
Diskresi merupakan kewenangan yang luar biasa yang diberikan kepada aparat keamanan, akan tetapi penuh risiko. Petugas keamanan harus benar-benar berpikir, bergerak dan bertindak secara cepat dan tepat. Tuntutan memenuhi standar ini tidak bisa bim salabim, harus lewat sebuah proses panjang dan membutuhkan banyak drilling, training dan ujian secara berkesinambungan.
Meski proses situ sudah dijalani, bukan berarti petugas tidak pernah salah dalam bertindak ketika melaksanakan tugas di lapangan. Bahkan sering kali terbalik dan mencelakai diri sendiri maupun public yang seharusnya dijaga dan diamankan. Kata pemaafnya adalah tidak ada gading yang tidak retak, akan tetapi menjadi petugas keamanan sesungguhnya adalah pekerjaan mulia.
Menjadi polisi adalah pilihan hidup, sekaligus menjadi tempat berbakti kepada nusa dan bangsa, turut serta aktif menjaga keamanan. Keberhasilan member pertolongan kepada sesama sesungguhnya merupakan reallisasi iman secara nyata, apalagi berhasil mengemban amanat Negara. Tidak berlebihan bila negeri ini sesungguhnya bisa makmur dari kinerja polisi. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar