#KamiTidakTakut,
#AntiRadikal
oleh
Priyo Suwarno
(foto net) |
PERTAMA-tama
kita menyampaikan ucapan selamat kepada umat Muslim yang sedang melaksanakan
ibadah puasa. Semoga pengampunan dan anugerah dari Allah SWT selalu berlimpah
kepada kita semua. Kedua, kita patut bersyukur di bulan suci ini, suasana keamanan
di Indonesia semakin kondusif meskipun
sebelumnya kita mendapatkan cobaan yang luar biasa atas insiden luar biasa: bom
bunuh diri di Kampung Melayu, Jakarta.
Untuk
memberikan penjelasan tentang kasus bom bunuh diritu, Kapolri Jenderal Tito
Karnavian memberikan penjelasan gambling dan terinci dalam sebuah wawancara
eksklusif di Kompas.TV. Mengapa
Kapolri harus turun langsung menjelaskan insiden itu? Karena pasca-ledakan bermunculan
‘serangan lain’, berupa banjir postingan dari warganet yang beropini bahwa bom bunuh
diri itu rekayasa: Polisi.
(foto net) |
Dalam
kasus bom Kampung Melayu, polisi dan masyarakat Indonesia ibarat sudah jatuh
tertimpa tangga, wajahnya tersiram cat. Sungguh pilu dan penuh penderitaan
lahir batin. Pilu, karena bom bunuh diri itu menyebabkan tiga polisi gugur.
Mengapa
polisi jadi sasaran? Kepala
Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Tito Karnavian menjelaskan
alasan polisi menjadi sasaran utama berbagai teror bom, karena doktrinnya
begitu. Termasuk yang terjadi di terminal Kampung Melayu, Rabu (24/5/2017)
malam lalu.
Pelaku bom di Kampung Melayu oleh Kapolri merupakan ulah kelompok Jamaah
Ansharut Daulah (JAD) dipimpin Aman Abdurrahman dan berafiliasi kepada Kelompok
Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Tito menjelaskan, doktrin pertama yang
dianut para teroris yang berkiblat kepada ISIS adalah tauhid wal jihad,
serta komponen eks militer Saddam Hussein yang dibubarkan. Sehingga ideologi
yang dibawa oleh mereka tauhid wal jihadnya adalah Takfiri.
(foto net) |
Aliran tauhid wal jihad di Indonesia dipimpin oleh Aman
Abdurrahman pada tahun 2003 pada saat terjadi ledakan di Cimanggis, Jawa Barat.
Pendukung utama dari tauhid wal jihad di Irak yang dipimpin oleh abu
Muhammad Maqdisi, juga mengusung ideologi Takfiri, yang konsep
utamanya adalah Tauhid, yaitu segala sesuatu harus berasal dari Tuhan Yang Maha
Kuasa, Allah SWT.
Tito menyebutkan, paham ini menyebabkan konsep pemikiran bahwa mereka yang
tidak sesuai dan tidak berasal dari Tuhan, dianggap haram atau kafir, sehingga
mereka menentang demokrasi Pancasila, karena dianggap kafir atau kufur.
Sehingga pendukung ideologi ini menganggap tentara Indonesia dan Polri sebagai
thagut (setan). Mereka juga mencap siapapun yang tidak sealiran adalah kafir.
Kafir, menurut Kapolri, dibedakan menjadi dua jenis oleh para penganut paham
ini. Kafir harbi, adalah kafir yang dianggap atau dianggap memusuhi dan
menyerang mereka. Sedangkan kafir kafir dzimi adalah yang tidak menyerang
mereka, tapi harus tunduk kepada mereka. Nah, Polri bagi mereka dianggap
sebagai kafir harbi.
Tetapi bagi Tito tiga personel Sabhara Polri yang gugur dalam aksi bom bunuh
diri di Kampung Melayu, mati syahid. Mereka wafat, gugur dalam keadaan syahid. Karena
mereka gugur saat sedang melaksanakan
tugas demi mengamankan masyarakat dan kepentingan umat manusia. Tiga polisi
yang gugur, yakni Bripda Taufan, Bripda Ridho Setiawan dan Bripda Imam Gilang
Adinata. Kepada mereka pun diberikan anugerah berupa kenaikkan pangka luar
biasa.
Korbannya bukan hanya polisi, sedikitnya lima warga masyarakat umum menjadi
korban keganasan bom itu yakni Agung (sopir Kopaja), Damai Sihaloho (sopir
Mikrolet), Tasdik (karyawan Bank Mandiri), Susi Afitriyani (mahasiswi) dan
Jihan (mahasiswi).
Kapolri menyatakan turut berduka cita mendalam atas jatuhnya korban, baik
yang meninggal dunia maupun korban luka. Bukan hanya keprihatinan polisi saja,
tetapi keprihatinan bagi seluruh bangsa Indonesia, ternyata ada orang Indonesia
begitu tega melakukan perbuatan nista yang membawa kesengasaan bagi bangsa dan
negaranya secara keji.
Polisi mahfum benar bahwa aktivitas radikalisme di Indonesia masih terus
eksis, mereka selalu ingin menunjukkan keberadaannya dengan mempertontonkan
kengerian, kesadisan tanpa perikemanusiaan untuk melahirkan ketakutan
dimana-mana.
Mantan Ketua PP Muhammadiyah Buya Syafii Maarif mengaku risau merisaukan
teologi maut yang berkembang di Indonesia. Teologi maut adalah sebuah teologi
yang mengajarkan bahwa berani mati tapi tidak berani hidup. Karena teologi maut
itu beberapa negara terimbas, mulai dari Suriah sampai Iraq.
Suriah, Iraq, Libya hancur dan Mesir
tidak karu-karuan, Afghan juga menyedihkan.
Kemudian berkembang juga sebuah
teologi memonopoli kebenaran. Di luar mereka dianggap salah. Jelas tantangan di depan mata bangsa
Indonesia, kita sedang berada di sebuah pusaran maut yang jelas-jelas bakal
menyengsarakan kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini.
Tidak salah bila rentetan serangan
peledakan bom dari Bali, Marriot, Thamrin, Bandung dan lain-lain itu tidak lain
adalah upaya menggantikan ideologi bangsa Indonesia. Analisis ini semakin
benar, karena pasca-peledakan di Kampung Melayu, meski bom sudah selesai tetapu
perang medson terus berlangsung.
Postingan di medos oleh kawanan
pelaku peledakan bom Kampung Melayu, sudah menyiapkan strategi lain, yaitu
melambungkan efek domino agar kegerian, getaran dan kesengesaraan ini
benar-benar bisa menjadi momok bagi bangsa Indonesia. Kedua, dimunculkan
pseudo-analisis-analisis, boleh juga analisis abal-abal sebagai taktik
penyesatan yang secara secara terus menerus dan massif disebarkan ke media
sosial. Isi analisis itu seolah-olah –menggunakan data dan fakta yang
dibuat-buat, bahwa peledakaan Kampung Melayu merupakan rekayasa aparat
keamanan.
Tujunnya jelas mendiskriditkan
aparat keamanan, masyarakat dibuat simpati kepada pelaki bom bunuh diri,
sekaligus membuat opini positif terhadap perbuatan kejahatan terhadap umat
manusia itu. Mereka membuat opini seolah-olah pelaku adalah pahlawan, sementara
polisi menjadi obyek penistaan. Pelaku banyak, jaringan ini jelas sudah
mempunyai pasukan medsos dan siap melakukan perang opini di dunia maya.
Tidak bisa dibiarkandan harus
dilawan. Kita semua bersyukur, ternyata warga masyarakat Indonesia faham dan
mengetahui cara-cara licik ini yang secara sengaja untuk mengaburkan persoalan
sesungguhnya. Terbukti, muncul gerakan masyarakat dengan tagar #KamiTidakTakut!
Serta #AntiRadikalisme melakukan perlawanan semesta di dunia maya.
Masyarakat faham bahwa serangan
teroris itu nyata-nyata untuk mengacaukan keamanan Indonesia. Mereka melakukan
perlawanan di medsos untuk mengahalau dan mereduksi efek negatif kasus bom
bunuh di Kampung Melayu. Perlawanan ini membuahkan hasil, serangan opini
negative terhadap aparat keamanan mulai surut karena masyarakat peduli terhadap
bahaya yang ditimbulkan.
Lebih dari itu efek bom bunuh diri
itu juga sudah melembik, tidak bergema dan berlalu begitu saja. Sementara
polisi terus membongkar seluruh jaringan yang terkait dengan para pelaku.
Selain menungakap tuntas jati diri pelaku, kini Polri khususnya Densus 88 terus
bergerak menangkapi jaringan pelaku bom bunuh diri.
Teroris memang mempunyai ruang gerak
bebas kapan dan dimana saja tanpa menghiraukan aturan, sementara Polri bergerak
berdasarkan aturan dan undang-undang. Akibatnya jika terlalu cepat menangkapi
calon pelaku terror pun, dianggap melakukan tindakan sewenang-wenang,
sebaliknya lambat menangani dan terjadi korban jiwa, polisi juga dianggap
kurang tanggap dan tidak peka dan selalu kebobolan.
Selain dukungan dari masyarakat,
Polri masih membutuhkan satu lagi paying hukum di dalam menagani teroris lewat
perubahan UU Teroris yang sudah lama
menggendap di DPR. Kita semua berusaha agar, payung hukum baru ini membuka
peluang lebih besar bagi Polri untuk melakukan tindakan pencegahan agar teroris
tidak berkembang dan merajalela di Indonesia. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar