Lusiano bersama Wamen ESDM Arcandra Tahar (kabarkaltim) |
BALIKAPAN,
KABARINDONESIA.CO.ID-Ahli perminyakan Ir Lusiano SH MSi yang juga
Advokat dan aktivis Dayak Borneo, tidak henti-hentinya menyuarakan
keadilan untuk masyarakat dan pengusaha-pengusaha kecil di daerah
penghasil migas di Borneo/Kalimantan yang masih dirasa sangat tidak
berkeadilan.
Terlebih
setelah PN Pertamina satu-satunya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang
mengusahakan kegiatan perminyakan di Indonesia sejak di bawah BP Migas
untuk penguasaan dan pengusahaan Hulu Migas, yang dinyatakan dan bubar
tidak sesuai dengan amanat Undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi (MK)
diganti dengan SKK Migas, dinilai sama saja ibarat ganti baju saja.
"Begitu
juga penguasaan dan pengusahaan hilir Migas dengan BPH Migas akhirnya
hanya menghambat kedaulatan Pertamina yang sudah di-PT-kan, awalnya dari
PN dijadikan PT agar Pertamina lebih merdeka dan berkedaulatan
mengelola dan mengusahakan migas di Republik ini," beber Lusiano, Rabu
(14/6/2017) malam.
"Kenyataaannya
Pertamina malah menjadi banci dengan PTK badan-badan tersebut yang
maksudnya adalah untuk pengawasan terhadap kegiatan mnigas, dengan
ketentuan tunduk PTK ini dan PTK itu. Seperti negara dalam negara.
Dengan adanya wacana pemerintah melebur dan membubarkan badan-badan
tersebut agar lebih efiesien dan lebih leluasa dan tidak terbelenggu
dengan berbagai aturan," kata dia.
"Intinya
untuk pengawasan dan tujuannya mencegah penyimpangan dan korupsi
sebenar di internal saja Pertamina, tingkatkan pakta Iintegritaas,
sanksi dan perkuat pengawasan internal. Kalau perlu langsung di bawah
Inspektorat Negara.
Kalau seperti sekarang tetap dijalankan Pertamina sulit berkembang
karena semacam BUMN banci, kepala dilepas ekor diikat dengan berbagai
PTK badan-badan yang membuat pengambil-pengambil keputusan di Pertamina
yang penting kerja aja jangan sampai melangar PTK," urai Lusiano.
Ia
menyarankan, jika perlu ikut cara lama BPM tentang pakta integritas,
disiplin dan sanksi keras pengawasan melekat dan keras, ada istilah masa
lalu disiplin Belanda, skorsing dan yang paling berat onslag (pecat).
Hal itu sudah ada sejak Pertamina masih BPM, tidak aneh-aneh,
diharapkan dikembalikan saja peraturan perusahaan seperti di era
tersebut.
"Orang
bisa ketakutan ke keluarga-keluarganya masa dahulu, gara mencuri 2
liter minyak saja bisa kena skorsing 6 bulan, tidak aktif kerja dan bisa
berlanjut onslag /pecat.
Kalau dalam rumah Pertamina itu anak yang sudah dewasa HAM-nya masih
dikuasai Bapak dan Ibu yang mengakibatkan si Anak tidak tumbuh normal,
HAM dan kejiwaannya apa-apa tanya papa mama dulu,".
"Sebenarnya
dia anak yang pandai, lebih pandai dari Ibu Bapaknya, tapi yaa seperti
itu dapat dikatakan seperti banci.
Contohnya pada masa lalu Pertamina Hulu/EP khususnya karena merasa
kegitannya di daerah hulu-hulu hutan dan pedalaman yang sekarang gencar
disebut daerah penghasil dan adanya aturan otonomi daarah wajib
memberdayakan masyarakat daerah penghasil dan pengusaha kecil daerah
penghasil di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung, nampaknya juga
terbentur dengan berbagai PTK-PTK yang kurang jelas juklaknya,".
Salah
satu contoh bunyi PTK 007 revisi 3 yang berbunyi nilai proyek pengadaan
barang dan jasa sampai dengan nilai Rp 5 miliar setara US$.500.000,
wajib dilaksanakan di daerah. Terbukti tidak dilaksanakan karena ragu
dan takut salah.
"Oleh
Pertamina walaupun dilaksanakan tidak ada pembatasan proteksi buat
orang daerah dan diumumkan di eproc secara nasional, sama saja memancing
masalah di daerah. Bisa memunculkan kesenjangan sosial di daerah
penghasil, katakan lah di field dan daerah pengahasil. Dan muncul dalam
pemikiran kami sebagai aktivis mau tidak mau, kami membuat aturan
sendiri, masa bodo dengan peratuaran Eproc segala macam, kami akan bikin
gerakan melawan dan mengusir yang datang daripada jadi penonton dan
mati di ladang kami sendiri,".
Masih
kata Lusiano, wajar diperjuangkan karena aturannya tidak berkeadilan.
Dan bisa membuka peluang gerakan preman, tidak peduli yang penting
untuk kepentingan bersama, orang di daerah ingin hidup juga.
"Hal
ini bukan rahasia umum, di field-field migas di daerah Palembang
Sumbagsel bukan rahasia umum bagi pejabat Pertamina bagaimana kondisi di
sana? Jika seandainya saya/kami pengusaha kecil karena alasan Eproc
nasional ini NKRI dimenangkan pekerjaan kelas kecil di sana atau
ditunjuk pun, akan kami jawab no, ancamannya berat ditunjuk pun kami
tidam mau. Nah hal semacam ini agar jadi satu pelajaran dan gambaran
untuk SKK Migas dan Pertamina dan terus terang saja untuk mengamankan
ladang kami di Kalimantan dan Borneo kami akan melakukan dan berbuat
seperti di field Palembang, cepat atau lambat akan tercipta," urai dia
yang kembali menegaskan, perlawanan itu akan tercipta jika Pertamina dan
Badan-badan Pelaksana K3S tidak memberdayakan usaha-usaha kecil lokal,
apalagi Pertamina tidak melaksanakan akibat takut salah PTK yang tidak
jelas. (tim kk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar